Selasa, 23 Oktober 2007

Kontroversi ”Dadaisme” Dewi Sartika

ADA banyak nama Dewi. Setidaknya, dua di antaranya hinggap di dunia prosa. Setelah heboh novel Supernova (Dewi Lestari), kini muncul kontroversi baru dari novel Dadaisme karya Dewi Sartika. Supernova telah memberi "warna baru" dalam prosa Indonesia. Ia adalah novel yang menggabungkan pop dan sastra, kontekstualitas Iptek cukup rumit yang dijalin dalam teks prosa yang hangat, dan sosok pengarang yang diletakkan dalam wilayah "sastrawangi", sebutan di luar teks bagi pengarang perempuan yang punya standar "selebritisitas" tertentu. Sedangkan Dadaisme muncul karena menjadi pemenang pertama "Sayembara Menulis Novel 2003" yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, yang dianggap juri luar biasa, namun disambut kecaman (terutama) para pengamat muda, yang mempertanyakan kredibilitas karya, termasuk dewan jurinya.

Setidaknya, gambaran itu dapat dirasakan ketika novel ini didiskusikan di Fakultas Sastra Indonesia Unpad Jatinangor, 12 Juni 2004, yang digelar Kelompok Diskusi Nalar bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta. Hampir semua penanya atau penanggap memberi "kesan kurang layak" kepada novel Dadaisme sebagai pemenang pertama sayembara. Baik dari segi tema, stilistika, muatan lokal, kekuatan tokoh-tokohnya, dan lain-lain.

"Ya, saya menyadari Dadaisme masih penuh kekurangan. Sebagai manusia saya bukan orang yang sempurna juga. Kritikan di Unpad ini belum seberapa. Waktu di Jakarta, kritikannya lebih hebat lagi," tutur Dewi Sartika dengan nada tak datar. Penuh gejolak, meski tak begitu nampak di mukanya yang sedikit pucat dan lelah. Menurut anak ke dua dari empat bersaudara kelahiran Cilegon 27 Desember 1980 ini, setelah kemenangannya, termasuk kritikan keras yang ia terima, orang tuanya tak memberi reaksi yang berlebihan. "Mereka menasihati agar saya lebih bersabar, dan untuk introspeksi diri," lanjutnya.

Merujuk proses kreatif, Dewi menyebut bahwa ia suka menulis sejak SD. "Ya, saya suka membuat cerita sederhana. Pernah juga mencoba melanjutkan cerita yang ditulis teman waktu itu," tutur penggemar novelis Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Doyle ini. Dewi pun mulai serius menulis ketika SMA. Cerpen remaja pertamanya berjudul Kakakku Arjuna dimuat di majalah sekolah dan menjadi pilihan favorit redaksi saat itu. "Saya kemudian banyak menulis cerpen remaja, yang pop. Namun tak pernah ada yang dimuat. Itu terlalu sering sampai saya sendiri malas untuk menghitung cerpen yang ditolak itu. Putus asa, pasti. Saya sempat ingin berhenti menulis. Tapi itu hanya berlangsung satu minggu. Lewat satu minggu energi untuk menulis kembali muncul, dan saya sadar, saya mencintai menulis dan tidak bisa berhenti," lanjutnya.

Dewi kemudian mengumpulkan agenda penolakan tersebut dalam bentuk data digital, mencatat bagaimana perasaannya saat ditolak untuk dievaluasi di kemudian hari. Ia menemukan cara untuk menikmati penolakan dengan memahami emosi saat ditolak, dan itu mendorong emosinya untuk menulis dua kali lebih besar. Suatu waktu, ia menyadari bahwa ia sangat lemah dalam membangun penokohan dalam bentuk cerpen, karena terlalu sedikit ruang yang diberikan untuk berekspresi. Akhirnya, ketika semester tiga, ia memutuskan untuk menulis novel. Namun novel pertamanya (bukan Dadaisme) banyak dikritik habis-habisan oleh teman-temannya. Ia sendiri merasa tidak layak diterbitkan. Tapi dia penasaran dan terus berkarya. "Sampai muncul Dadaisme. Aneh juga, karya pop saya banyak ditolak. Eh, pas menulis sastra malah menang," tutur Dewi sambil membetulkan kacamata minusnya.

**

GADIS berdarah kental Minang angkatan 2000 di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia ini, kemudian mencoba untuk mengikuti lomba. "Tiga bulan sebelumnya saya sudah tahu. Tapi waktu itu belum tahu apa yang harus dibuat. Sebulan mandeg, dan tadinya takan diteruskan. Namun dua bulan kemudian saya berusaha untuk menyelesaikan novel saya. Muncullah Dadaisme, yang merupakan keprihatinan saya terhadap pelecehan anak-anak, seperti kekerasan pada anak, juga perhatian saya pada dunia autisme. Novel ini asalnya dimulai ketika saya tak sengaja menulis puisi untuk laki-laki yang saya kagumi, lahirlah tokoh Michail, malaikat kecil bersayap satu dan tokoh Nedena yang diambil dari nama salah satu siswa SMU di tempat KKN saya," ujarnya.

Dewi mengaku bahwa dalam berkarya ia menulis judul dahulu, baru isi. Untuk Dadaisme, ia merancang awal dan akhir cerita lebih dahulu. Observasi ia lakukan lewat buku-buku, juga internet, dan kawan dekat yang mengenal dunia autisme. Ketika Dadaisme mulai ditulis, ia membayangkan sebuah kepingan puzzle yang sedang berantakan, diacak, dan berharap pembaca yang menyusunnya. Keinginannya muncul karena ia ingin sekali melibatkan pembaca dalam rancang bangun cerita, mendiskusikan kepingannya. Intinya ia merindukan pembaca yang berpikir.

Setelah Dadaisme menang, ia dihubungi Ita Dian Novita dari penerbit Mahatari, Yogyakarta. "Memang waktu itu banyak penerbit yang menawari saya. Bahkan penerbit besar. Tapi kemudian saya memilih penerbit baru. Ini juga saya pikirakan dengan penuh pertimbangan. Saya pikir, apa salahnya membantu penerbit ini untuk menjadi besar" tutur gadis yang senang berpakaian santai ini. Dari pihak Mahatari, Dadaisme pertama dicetak 3000 eksemplar, dengan royalti 10 %, sama dengan novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy yang menjadi pemenang ke dua. Novel-novel tersebut kemudian dilempar ke pasaran dengan harga Rp. 35.000,-. Bersama Abidah, kemudian Dewi dijadwalkan untuk diskusi di Semarang, Yogyakarta, dan Solo. "Mungkin juga ke Surabaya dan Bali. Ya, tergantung penerbit," ujar Dewi, yang di-iyakan Ita Dian Novita, dan juga menyebut bahwa ada kewajiban bagi para pengarang tersebut untuk mempromosikan novelnya itu. Mereka juga optimis bahwa novelnya akan laris manis di pasaran. Dewi juga mengakui bahwa novelnya harus diedit kembali jika harus cetak ulang.

"Dari semua kritikan yang ada, saya menangkap bahwa mereka menuntut agar saya menulis lebih baik lagi," ujar Dewi dengan tersenyum.

Di sisi lain, Dewi nampaknya memang kurang dalam riset. Misalnya soal autisme. "Itu saya ketahui dari teman. Teman itu menceritakan keautisan keponakannya. Sebagian juga saya lihat di televisi," jelasnya. Maka tak heran kalau autisme di situ nampak lebih bersifat permukaan. Meski begitu, ia punya pendapat menarik tentang dunia mereka. "Anak-anak autis selalu punya pikiran sendiri, dan hidup di alamnya sendiri. Saya sering berpikir apa yang mereka pikirkan," pungkas penggemar Titis Basino dan Remi Sylado ini. (Eriyandi Budiman)***

a